selamat datang di dodekbagus.blogspot.com

Jumat, 14 Januari 2011

ETIKA

TRI KAYA PARISUDHA
( BERPIKIR, BERKATA, BERBUAT YANG BENAR)
logo UNHI.jpg
Oleh :
Ni Kadek Yoni Kristanti
Ni Luh Putu Budiantari
Ni Putu Ayu Aprilianti
I Putu Arya Sentana
Dodek Isa Siawan
Ni Made Junianti
Ni Wayan Sugiarini
Ni Made Santika Dewi




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS ILMU AGAMA
UNIVERSITAS HINDU INDONESIA
DENPASAR
2010

KATA PENGANTAR

Om, Swastyastu ”

            Puji dan syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca karena atas rahmat-Nya lah paper ini dapat terselesaikan dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh  Ibu Ida Ayu Komang Arniati selaku dosen mata kuliah Tata Susila Hindu II, Fakultas Ilmu Agama, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar.
            Penulis membuat paper ini yang berjudul “ Tri Kaya Parisudha, Berpikir, Berkata, dan Berbuat yang Benar ”. Penulis membuat paper ini mudah-mudahan dapat menjadi pedoman dalam berfikir, berkata, dan berbuat yang benar bagi para pembaca.
            Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu dalam penyelesaian paper ini, tidak lupa pula Ibu selaku dosen yang telah mendidik dan mengajar penulis. Dan juga kepada teman – teman yang telah membantu lancarnya dalam pembuatan paper ini.
            Namun demikian,  penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki sehingga kemungkinan adanya kekurangan – kekurangan dalam paper ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca guna menyempurnakan paper ini untuk sebagai pedoman dalam penulisan dan penyusunan paper selanjutnya. Sebagai akhir kata dengan harapan semoga paper ini ada manfaatnya bagi kita semua.


“ Om, Santhi, Santhi, Santi, Om”


Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tri Kaya Parisudha termasuk dalam Samanya Dharmasastra, yaitu Etika Agama Hindu yang berlaku umum atau universal dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, pembahasan masalah Tri Kaya Parisudha akan dimulai dengan menjelaskan persoalan etika itu sendiri. Etika atau Susila yang merupakan unsure kedua dari kerangka dasar Agama Hindu (Tattwa-Susila-Upacara), sering juga disebut dengan Dharmasastra. Dharma artinya menuntun atau membimbing, juga berarti hokum yang mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Sedangkan sastra berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian Dharmasastra atau etika dapat diartikan sebagai pedoman atau hukum yang menuntun manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan sosial lainnya. Tanpa pedoman yang jelas untuk menuntun masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, boleh jadi akan mudah sekali timbul kekacauan (Nala cs., 1991 : 137-138).
Salah satu tugas suci bagi umat Hindu ialah untuk menata dirinya sendiri serta masyarakat. Serta umat manusia untuk mengenal jati dirinya untuk berusaha menjadi manusia yang berperi kemanusiaan yang secara ideal disebut manusia ”Dharmika”. Itu dikarenakan terlahir sebagai manusia sangatlah mulia seperti disebutkan dalam Kitab Suci Saraccamuscaya sloka 234 disebutkan sebagai berikut :
”Diantara semua makhluk hidup, hanya dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau buruk ; leluhurlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu ; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia”
Memperhatikan ajaran Tri Kaya Parisudha, kita diarahkan serta dituntut untuk berbuat kebenaran, kebaikan, agar dapat melebur kegelapan, atau Karma yang jahat (buruk) untuk menuju yang Dharmika. Tetapi dewasa ini orang-orang tidak dapat mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha tersebut dengan baik dan benar, hal ini dikarenakan akibat dari perkembangan teknologi dan informasi serta  pengaruh-pengaruh budaya barat yang dapat dengan mudahnya masuk ke dalam budaya kita (budaya ketimuran).

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat kami buat rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apakah pengertian dan konsep dari ajaran Tri Kaya Parisudha?

  1. Apa saja sumber-sumber etika agama Hindu itu?
  2. Bagaimana penerapan ajaran Tri Kaya Parisudha di dalam  kehidupan sehari-hari?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui pengertian dan konsep dari ajaran Tri Kaya Parisudha.
  2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan ajaran Tri Kaya Parisudha di dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Untuk mengembangkan sifat dan sikap jujur dan setia dalam berpikir, berkata maupun berbuat bagi masyarakat pada umumnya.
  4. Untuk mengajarkan agar manusia selalu waspada dan hati-hati terhadap pikiran, perkataan dan perbuatannya, karena baik pikiran, perkataan maupun perbuatan itu dapat menyebabakan orang lain tidak senang, sedih atau marah, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan kesusahan pada diri sendiri.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DARI AJARAN TRI KAYA PARISUDHA
            Secara sederhana Tri Kaya Parisudha diartikan sebagai berpikir baik, berkata baikdan berbuat baik. Tri Kaya Parisudha berasal dari kata ‘Tri’ yang berarti tiga, ‘Kaya’ berarti perilaku atau perbuatan dan ‘Parisudha’ berarti baik, bersih, suci atau disucikan. Dengan demikian Tri Kaya Parisudha berarti tiga perilaku manusia dalam bentuk pikiran, perkataan dan perbuatan yang harus disucikan. (Mudera cs., 1992:65). Dengan kata disucikan dimagsud bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan manusia tidak boleh dinodai dengan jalan yang tidak baik. Dengan kata lain, seperti sudah disampaikan diatas, pikiran itu harus baik, perkataan itu harus baik dan perbuatan itupun harus baik. Pikiran, perkataan dan perbuatan baik itu harus dijadikan sebagai pedoman oleh Umat Hindu dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga terperiharalah adanya kerukunan, ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.
            Tri artinya tiga, Kaya artinya perbuatan, kegiatan atau wujud. Ketiga kegiatan dimagsud adalah manah(pikiran), wak atau waca (perkataan), dan kaya (perbuatan). Ketiga hal itu dipandang sangat penting terutama dalam melihat asal-usul timbulnya karma dan atau hubungannya dengan karma. Untuk memperoleh karma yang baik, maka perlu adanya pengendalian indriya. Dari ketiga unsure Tri Kaya, maka yang paling penting adalah pikiran atau manah. Pikiran atau manah ini dipandang sebagai motor yang mempengaruhi cara manusia berfikir ataupun berbuat. Namun ketiga-tiganya yaitu pikiran, perkataan dan perbuatan itu perlu dikendalikan dengan sebaik-baiknya (Pudja, 1981 : 291-293).
            Tri Kaya Parisudha diartikan pula sebagai tiga dasar prilaku yang harus disucikan yaitu manacika(pikiran), wacika (perkataan) dan kayika (perbuatan). Dengan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang baik, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik (Sukartha dkk., 2004 : 62). Jadi intinya adalah sama, yaitu bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan itu harus baik. Pada dasarnya adalah pikiran yang baik. Dengan pikiran yang baik, orang akan berkata yang baik pula dan berbuat yang baik pula. Jadi semua dipengaruhi oleh pikiran. Itulah sebabnya, mengapa manusia perlu menjaga pikirannya, mengatur pikirannya, mengendalikan pikirannya dengan baik. Seperti ditegaskan dalam Kitab Suci Weda berikut ini :
            Yasminrcah sama yajunsi yasmin pratisthita
            Rathana bhavivarah
            Yasminrcah sarvomotam prajanam tanme
            Manah siva samkalpamastu
                                                Yajurveda 34.5
Artinya :
Seperti dalam kereta kuda terdapat jari-jari pada rodanya, dalam pikiran terdapat Rgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. Demikianlah juga terdapat pengetahuan tentang tingkah liku manusia, semoga pikiran menjadi baik dan tenang.
Tri artinya tiga anggota badan yaitu : kaya, wak, manah. Kaya ialah anggota badan, seperti tangan, kaki, punggung, mulut dan sebagainya, sedangkan wak ialah kata-kata dan manah adalah pikiran. Dengan tiga alat inilah manusia dapat berbuat sesuatu, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. (Sura.,1985 : 94).

2.1.2 BAGIAN-BAGIAN TRI KAYA PARISUDHA
            Seperti yang dijelaskan diatas Tri Kaya Parisudha terdiri atas tiga bagian berikut :
a.       Manacika atau berpikir yang baik.
b.      Wacika atau berkata yang baik.
c.       Kayika atau berbuat yang baik.
Untuk dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap, dibawah ini disampaikan uraian lebih lanjut mengenai ketiganya.


a.      Manacika atau berpikir yang baik.
Manas atau manah ini berarti pikiran. Manacika dapat diartikan sebagai segala perilaku yang berhubungan dengan pikiran. Parisudha sudah dijelaskan diatas yang berarti bersih atau dapat diartikan juga baik atau suci. Manacika parisudha dengan demikian dapat diartikan sebagai pikiran yang benar, baikdan suci. Pikiran adalah inti dari segalanya. Dari katiga unsur Tri Kaya Parisudha, pikiran adalah yang pokok, yang dapat menimbulkan adanya perkataan maupun perbuatan. Baik buruknya perkataan dan perbuatan seseorang akan sangat tergantung dari pikirannya.
Adapun pengendalian pikiran itu dapat dilaksanakan dengan cara-cara seperti di bawah ini (Pudja, 1981 : 295-296)
1.      Biasakanlah berpikir dan bersikap welas asih atau kasih saying terhadap sesame makhluk dan memupuknya secara terus menerus.
2.      Belajarlah mengendalikan diri, agar rasa iri dan dengki dapat ditiadakan dan tidak timbul lagi.
3.      Sibukkanlah diri dengan rajin bekerja, sehingga tidak ada kesempatan bagi pikiran untuk melamun atau memikirkan yang bukan-bukan. Sibuk dengan pekerjaan sendiri, tentunya tidak aka nada peluang untuk memikirkan hal yang aneh-aneh.
4.      Tanamkan terus pikiran dan sikap pengendalian diri yang baik, sehingga kita mudah member maaf kepada orang lain dan tidak cepat marah ataupun putus asa.
5.      Selalulah berpikir yang baik dan benar, sehingga  nafsu atau keinginan buruk yang timbul karena pengaruh lingkungan dan panca indriya, dapat ditiadakan.
6.      Biasakanlah berpikir, berkata dan berbuat yang baik, sehingga kita dapat menjadi manusia yang berbudi luhur dan beriman teguh antara lain dengan melaksanakan tapa, brata, yoga dan Samadhi

Itulah enam cara yang dapat dicoba untuk mengendalikan pikiran. Jika dilaksanakan dengan baik, benar dan sungguh-sungguh, maka orang akan dapat menjadi manusia yang ideal yang dalam Agama Hindu dikenal dengan manusia sejati.
b.      Wacika atau berkata yang baik
Berkata-kata atau berbicara itu amatlah penting artinya, baik bagi kita sendiri maupun bagi orang yang mendengarkannya. Karena itu sebelumnya berkata atau berbicara, pikirkanlah dulu masak-masak akan akibatnya. Piker dahulu pendapat, sesal kemudian tidak berguna. Demikialah pribahasa yang patut dipahami. Dan janganlah sembarangan berbicara. Jangan pula asl bicaraatau asal bunyi. Perkataan pada hakekatnyaadalah penyampaian isi hati. Karena itu hati-hatilah, jangan sampai orang lain merasa tersinggung atau sakit hati. Jangan katakana apa yang anda sendiri tidak senang, kepada orang lain siapapun juga orangnya. Setiap orang hendaknya berkata dengan baik dan benar. Berkata yang baik dan benar ini dinamakan Wacika Parisudha. Setiap kata-kata dapat menimbulkan akibat yang baikmaupun yang buruk. Dalam kitab Nitisastra V.3 dijelaskan sebagai berikut (Sukartha 2004:62)
Wacika nimittante manemu laksmi
Wacika nimittante manemu dukha
Wacika nimittante manemu pati kapangguh
Wacika nimittante manemu mitra
Artinya :
Karena perkataaan anda mendapat kebahagiaan
Karena perkataan anda menemui kesulitan
Karena perkataan anda menemui ajal
Karena perkataan anda memperoleh sahabat
Demikianlah dengan kata-kata itu orang dapat memperoleh kebaikan maupun keburukan. Kita bisa bahagia, bisa mendapat kesulitan, bisa mendapat teman, bahkan kitapun bisa menemui ajal, jika tidak berhati-hati dalam berkata.

c.       Kayika atau berbuat dengan baik
Kayika atau kaya artinya yang berkenaan dengan badan, perbuatan atau wujud atau perilaku yang berkaitan dengan badan. Dengan anggota tubuh memang kita dapat menunjukkan perilaku kita. Perilaku dimagsud harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Perilaku yang baik dan benar inilah yang dinamakan Kayika Parisudha. Setiap perbuatan, apakah perbuatan baik ataukah perbuatan buruk akan dapat menimbulkan apa yang dimanakan karma.perbuatan yang baik akan menimbulkan karma baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk akan menimbulkan karma buruk. Karma itu adalah pahala atau hasil dari perbuatan kita. Semua orang ingin mendapatkan karma baik. Karena itu janganlah berbuat yang tidak baik yang dapat menciptakan karma buruk. Berusahalah selalu berbuat baik, berbuat kebajikan, sesuai dengan ajaran Dharma, sejalan dengan ajaran Agama Hindu. Dengan selalu berbuat baik, maka kita pasti akan mendapatkan karma yang baik pula.,
           













TRI KAYA PARISUDHA MENURUT KITAB BHAGAWADGITA
a.      Dua Tipe Manusia
Kitab Bhagawadgita banyak sekali berisi butir-butir tentang Tri Kaya Parisudha meliputi tata laku berpikir yang baik, berkata yang baik maupunn berbuat yang baik sampai kepada hal-hal yang bersifat buruk. Menurut Kitab Bhagawadgita, ukuran tau patokan untuk dijadikan pegangan baik buruk tata laku manusia adalah dari pembentukan pribadi manusia itu sendiri. Dalam rangka membangun manusia seutuhnya Kitab Bhagawadgita membedakan adanya dua macam tipe manusia (Pudja, 1984 : 98-99) yaitu:
1). Daiwi Sampat.
2). Asuri sampat.
Hal ini tercantum dalam Bhagawadgita Bab XVI yang melukiskan apa yang menyebabkan manusia itu baik dan bersifat mulia dan apa pula ciri-ciri orang jahat yang berwatak setan. Sifat-sifat mulia adalah untuk mencapai kelepasan, pembebasan atau moksa, sedangkan sifat-sifat jahat menyebabkan orang terikat dengan belenggu kesengsaraan dalam siklus kelahiran dan kematian. Orang yang dilahirkan dengan sifat-sifat setan memandang dunia ini tanpa kebenaran, tanpa moral, tanpa koordinasi dan hanya terdiri dari hawa nafsu saja. Janganlah membiarkan diri kita dikuasai oleh kekerasan, keangkuhan, hawa nafsu, amarah dan lobha, yang bisa menjerumuskan ke dalam kandungan setan. Nafsu birahi, amarah dan lobha adalah pintu menuju gerbang neraka (Pendit, 1979/1980 : 313)

a.      Daiwi Sampat
Daiwi Sampat adalah sifat-sifat manusia dengan sifat dewa. Pada umumnya hal ini dilihat dari tata laku manusia yang selalu berpegang pada kesucian, keselarasan dan cinta kasih. Kehidupan manusia jenis ini diliputi oleh ketentraman, kedamaian dan perasaan rendah hati dan ini merupakan sehari-hari mereka.


Adapun yang mendasari hidupnya adalah :
§    Abhaya atau tidak mengenal rasa takut.
§    Sattwasamsuddhi atau berjiwa murni.
§    Jnana wyawasthitah atau bijaksana.
§    Danam atau dermawan.
§    Dama atau menguasai indria.
§    Yajna atau suka beryajna.
§    Swadhyaya atau suka belajar sendiri.
§    Tapa atau taat dalam berpantang.
§    Arjawa atau jujur.
§    Yoga Samadhi atau suka melakukan yoga samadhi.

Disamping ke sepuluh sifat diatas, mereka pun memiliki sifat-sifat lain, yakni :
§    Ahimsa atau tidak menyakiti
§    Satya atau jujur dan berpegang pada kebenaran.
§    Akroda atau tidak mudah marah.
§    Tyaga atau tidak terikat kehidupan duniawi.
§    Santi atau tentram dan damai.
§    Apasuna atau tidak suka memfitnah.
§    Daya atau kasih sayang.
§    Aloluptwam atau tak menginginkan milik orang lain.
§    Mardawa atau lemah lembut.
§    Hrih atau sopan santun.
§    Acapalam atau tidak mudah menggerakan tangan.
§    Teja atau cekatan,tangkas.
§    Ksama atau mudah memaafkan.
§    Dhritih atau mempunyai pendirian yang kuat.
§    Sauca atau kesucian.
§    Adhora atau tidak dengki atau iri hati.
§    Natimanita atau tidak angkuh.
           
            Manusia yang memiliki semua sifat diatas dapat dinyatakan sebagai makhluk yang mempunyai Daiwi Sampat. Orang itu menjadi manusia mulia yang dihormati dan terpuji. Tetapi hidup di dunia ini orang tidak boleh menuruti kemauannya sendiri. Hidup dengan penuh tenggang rasa dan menghargai orang lain adalah dasar yang menjiwai sifat-sifat Daiwi Sampat. Mengenai masalah ini Kitab Bhagawadgita XVI – 1 sampai 4 menyatakan sebagai berikut :

Sloka XVI – 1 :
            Abhayam sattvasamsuddhir
            Jnanayoga vyavasthitah
            Danam damas cha yajnas cha
            Svadhyayas tapa arjavam

            Artinya :
Tidak gentar, sucihati, bijaksana, mendalami yoga dan ilmu pengetahuan, dermawan, menguasai indria, berupacara kebaktian, mempelajari kitab sastra, hidup sederhana dan jujur.
           
Sloka XVI – 2 :
            Ahimsa satyam akrodhas
            Tyagah santir apaisunam
            Daya bhuteshy aloluptvam
            Mardavam hrir achapalam

            Artinya :
Tanpa kekerasan, kebenaran, tanpa kemarahan, tanpa egoisme, tenang, tanpa mencari kesalahan, kasih sayang kepada semua makhluk, tidak loba, lemah lembut, sopan dan dalam keseimbangan jiwa.

Sloka XVI – 3 :
            Tejah kshama dhrtih saucham
            Adroho na timanita
            Bhavanti sampadam daivim
            Abhijatasya bharata
            Artinya :
 Cekatan, suka memaafkan, teguh iman, budi luhur, tanpa irihati, tanpa keangkuhan, semua itu adalah milik mereka yang dilahirkan, dengan sifat-sifat dewata.

3. Asuri Sampat :
            Asuri atau Asura merupakan lawan dari Sura atau Dewa. Asura artinya raksasa. Asuri sampat diartikan sebagai sifat-sifat kekerasan atau yang bertentangan dengan sifat-sifat dewa. Dalam hal ini sifatnya kasar, kejam, tidak etis, dan hanya mau melihat kepentingannya sendiri saja. Orang seperti ini tidak pernah ragu untuk berbohong, memfitnah, mengadu domba, dan berbagai sifat buruk lainnya.
           

Adapun ciri dari sifat-sifat Asuri Sampad ini adalah :
§    Dambha atau munafik, pura-pura suci tetapi hidupnya sediri sebaliknya.
§    Darpa atau sombong karena pengetahuannya.
§    Na ati manita atau angkuh.
§    Krodha atau pemarah.
§    Parusya atau suka mencela.
§    Ajnanam atau bodoh.
§    Atmasambhawa atau sombong.
§    Stabda atau keras kepala.
§    Dhanamana atau suka berjudi.
§    Madanartah atau mabuk karena kaya.

Mengenai hal ini Bhagawadgita Sloka XVI menyatakan seperti di bawah ini :

Sloka XVI – 4 :
            Dhambo darpo bhimanas cha
            Krodah parushyam eva cha
            Ajnanam cha bhijatasya
            Partha sampadam asurim
            Artinya :
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini dimiliki oleh mereka yang dilahirkan dengan sifat-sifat setan.



Sloka XVI – 7:
            Pravrittim cha nivrittim cha
            Jana na vidur asurah
            Na saucham na pi cha charo
            Na styam teshu vidyate

Artinya :
Mereka yang jahat tidak tahu apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan, demikian pula tidak ada kesucian, kelakuan baik dan kebenaran.

Sloka XVI – 8 :
            Asatyam apratishtham te
            Jagad ahur anisvaram
            Aparaspara sambhutam
            Kim anyat kamahaitukam
Artinya :
Mereka berkata bahwa dunia ini tanpa kebenaran, tanpa moral, tanpa Tuhan, tidak ada koordinasi bersama, hanya disebabkan oleh hawa nafsu birahi, selebihnya tidak ada.

Sloka XVI – 10 :
            Kamam asritya dushpuram
            Dambha mana madanvitah
            Mohad grihitva sadgrahan
            Pravartante suchivratah


Artinya :
Dengan menyerahkan diri kepada nafsu ketidakpuasan penuh kepura-puraan, kebanggakan dan kesombongan memiliki pandangan salah karena ilusi, mereka berbuat hal-hal yang sangat keji.














TRI KAYA PARISUDHA MENURUT KITAB SARASAMUSCAYA
Dalam kitab Sarasamusccaya masalah Tri Kaya Parisudha di bagi menjadi tiga kelompok Sloka Pertama mengenai Tri Kaya tercantum dalam sloka 73 sampai 78, kedua tentang manah atau pikiran dalam Sloka 79 sampai 82 dan ketiga tentang ucapan atau Wak dalam Sloka 117 sampai 127. sebelum menjelaskan setiap Sloka yang berkaitan, terlebih dahulu diberikan rangkuman sebagai gambaran menyeluruh atas berbagai Sloka dimaksud sebegai berikut :

1.      Pada hakekatnya manusia itu mempunyai sepuluh indria (dasa karma) yang patut dikendalikan indria itu dibagi dalam tiga kelompok. Yang berkaitan dengan pikiran, banyaknya tiga, yang betalian dengan perkataan benyaknya empat dan yang berhubungan dengan perbuatan banyaknya tiga.
2.      Yang bertalian dengan pikiran (banyaknya tiga) yang perlu dikendalikan adalah tidak menginginkan atau dengki terhadap milik orang lain, tidak marah kepada semua makhluk dan percaya dengan ajaran karmaphala.
3.      Yang bertalian dengan perkataan (berjumlah empat) yang tidak patut diucapkan adalah perkataan yang jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan yang memfitnah dan perkataan yang sifatnya berbohong.
4.      Yang berhubungan dengan perbuatan (berjumlah tiga) yang tidak patut dilakukan adalah membunuh, mencuri dan berzina.
5.      Orang itu dikenal karena tingkah lakunya, karena buah pikiran dan karena uacapannya. Karena itu biasakanlah berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik.
6.      Pikiran merupakan unsur penentu. Jika pikiran sudah menentukan sesuatu, maka mulailah orang berkata atau melakukan suatu perbuatan. Jadi pikiran adalah pokok sumbernya.
7.      Karena itu pikiran dinamakan sumbernya indria. Pikirlah yang menggerakkan perbuatan yang baik dan yang buruk itu. Karena itu pikiran perlu dikendalikan.
8.      Pikiran itu jalannya tidak menentu. Banyak yang dicita-citakkan, banyak juga yang diinginkan, kadang-kadang penuh keraguan. Karena itu jika ada manusia yang dapat mengendalikan pikirannya, maka orang itu akan memperoleh kebahagiaan.
9.      Mata manusia dapat melihat. Pikiran menyertai mata itu melihat. Jika pikiran kacau, maka pikiran tidak dapat menyertai mata melihat, benda yang dilihat tidak akan nampak. Pikiran yang memegang perananan utama.
10.  Orang terpuji adalah orang yang tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar, orang yang tidak memikirkan perbuatannya yang tidak patut. 
11.  Yang patut diucapkan adalah kata-kata yang membawa kebaikan. Jangan gembar-gembor ingin dipandang pandai bicara. Kata-kata yang berkepanjangan dapat menyebabkan orang senang, tetapi dapat juga menimbulkkan kebencian.
12.  Perkataan yang maksudnya baik dan diucapkan dengan baik pula akan menimbulkan kesenangan. Meskipun maksudnya baik, tetapi kalau diucapkan dengan tidak baik, maka akan menimbulkan kesusahan.
13.  Ucapan yang mengandung maksud jahat ibarat anak panah yang dilepas dari busurnya, akan menyakitkan hati orang yang dilaluinya. Orang budiman tidak akan mengucapkan kata-kata jahat seperti itu.
14.  Orang-orang budiman tidak akan mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti hati sampai menusuk ke dalam jiwa orang lain.
15.  Pikiran yang dibuat susah oleh perkataan yang kasar dan menyakitnya hati, tidak menjadi segar kembali, artinya tidak akan mempertinggi budi perkataan yang kasar itu.
16.  Jangan mencela dan menghina orang cacad, orang buta huruf, orang menderita, orang yang tertimpa kecekaan, orang miskin, orang bodoh, begitu pula orang penakut.
17.  Pendeta yang berjanji berpegang kepada kebenaran, tidak akan mencaci orang, tidak memfitnah, tidak mencela, tidak berdusta, tetapi giat mengedalikan diri menahan ucapan-ucapannya agar orang lain jangan sampai sakit hati.
18.  Inilah orang yang tidak jujur : memuji jika berhadapan, mencela sesudah di belakang. Orang itu akan dijauhkan dari kebahagiaan.
19.  Karena itu jangan mengumpat orang lain dan jangan didengarkan umpatan itu, tutuplah telinga atau pergilah untuk menghindarinya.
Demikianlah rangkuman Sloka-sloka kitab Sarasamusccaya yang berkaitan dengan Tri Kaya Parisudha. Untuk lebih jelasnya dibawah ini disampaikan Sloka-Sloka dimaksud.

Sloka 73 :
Manasa trividhamwaca caiva caturwinham
Kayena tridham capi dasakarma pathaccaret
Artinya :
Ada yang dinamakan karmapatha yaitu pengendalian indria, usahakan agar terlaksana, sepuluh banyaknya, perinciannya adalah sifat-sifat pikiran tiga banyaknya, sifat perkataan empat banyaknya, sifat perbuatan tiga macamnya, semua merupakan sepuluh macam sifat, yang ditimbulkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan.

Penjelasan :
Ada tiga karma yang lahir dari Manah, empat karma dari Wak dan tiga dari Kaya atau seluruhnya ada sepuluh macam karma. Rinciannya adalah sebagai berikut (Pudja, 1981 : 291-292).

(1)   Manah atau pikiran mempunyai tiga sifat kerja, yaitu :
a.       Rasa berkeinginan
b.      Rasa gemas atau benci
    c.Rasa iman atau yakin dan percaya kepada ajaran Karmaphala.
Yang diharapkan adalah bagaimana agar setiap orang berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengendalikan nafsu dan keinginannya atas harta benda yang bukan miliknya.
2. Wak atau perkataan mempunyai empat bentuk, yakni :
a.       Kata-kata yang bersifat jahat.
b.      Kata-kata yang bersifat kasar atau keras (parusya).
c.       Kata-kata yang bersifat fitnah (paisuna)
d.      Kata-kata yang bersifat tidak benar (mithya atau antra).
3.      Kaya atau perbuatan tiga bentuk, yaitu :
a.                                                                                                                               Perbuatan membunuh atau menyiksa makhluk atau pranatipata.
b.                                                                                                                              Perbuatan mencuri atau stainya atau stenya.
c.                                                                                                                               Perbuatan zina atau paradara.

Dari ketiga unsur Trikaya, maka Manah memegang peran utama. Manah dipandang sebagai motor penggerak dalam berkata maupun berpikir. Manah menjadi unsur penggerak dan penyaring. Karena itu mansuia diharapkan berusaha mengendalikan bukan saja Manah (pikiran), tetapi juga wak (perkataan) dan Kaya (perbuatan). Hanya dengan pengendalian diri seperti itu manusia akan dapat mencapai kebahagiaan di dunia ini. Tetapi kedudukan pikiran tetap adalah yang peling penting, paling besar perannya.

Peran dan fungsi pikiran bagi manusia adalah (Pudja, 1981 : 294-295).
a.       Sebagai matra penerima rangsangan dari luar atau lingkungannya.
b.      Matra yang sifatnya selalu aktip, sehingga memerlukan kendali yang kuat agar pikiran itu tidak mengembara tanpa arah.
c.       Matra yang mampu menggerakkan matra-matra lainnya tanpa arah.
d.      Matra yang mampu menggerakkan matra-matra lainnya untuk memenuhi pikiran itu.
e.       Matra yang mampu melihat sendiri apa yang tidak tampak oleh indria dalam wujud ide atau pikiran yang serba abstrak


Selanjutnya bentuk manifestasi pikiran dapat berwujud :
  1. Ide atau pengetahuan yang positif.
  2. Keinginan atau harapan yang bersifat negatif yang menjadi dasar timbulnya Kama. Keinginan ini tampak dalam bentuk aksi dan emosi seperti ingin kaya, ingin dihargai atau dihormati, ingin berkuasa dan sebagainya.

Dengan menyadari hakekat pikiran itu, maka Kitab Sarasamusccaya pagi-pagi telah menggariskan akan pentingnya penguasaan diri seseorang secara intrinsik dalam diri dan pikiran manusia itu sendiri.

Berikut ini adalah Sloka Kitab Sarassamusccaya yang bertalian dengan sifat pikiran itu :

Sloka 74 :
Anabhidhyam paraswesu sarvasatvesu carusam
Karmanam phlamastiti trividha manasa caret
     
Artinya :
Sifat pikiran yang pertama-tama diajarkan, tiga banyaknya, perinciannya, tidak menginginkan atau dengki terhadap milik orang lain, tidak marah kepada semua mahkluk dan percaya akan kebenaran ajaran karmaphala, itulah ketiga bentuk sifat pikiran sebagai pengendali atas indria.
Sloka 75 :
Asatpralapan parusyam paisunyam anrtam tatha
Catvari vaca rajendra na jalpennanucitayet

Artinya :
Inilah yang tidak patut timbul dari perkataan, empat banyaknya, yaitu perkataan yang jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan yang menfitnah dan perkataan berbohong. Jauhkanlah dirimu dari kata-kata itu, jangan diucapkan, pun juga jangan terpikir untuk diucapkan.
Sloka 76 :
Pranatipatam stainyam ca paradaranathapi va
Trini papani kayena sarvatah parivarjawet

Artinya :
Inilah perbuatan yang tidak patut dilakukan yakni membunuh, mencuri dan berzina. Ketiganya jangan dilakukan terhadap siapapun, baik secara borolok-olok, bergurau, dalam keadaan dirundung malang, bahkan dalam mimpi pun ketiganya agar dihindari.





TRI KAYA PARISUDHA MENURUT KITAB MĀNAWA DHARMAŚĀSTRA
Dalam kitab Manawa Dharmasastra dapat ditemukan adanya butir-butir Tri Kaya Parisudha yang mengandung ajaran tentang berpikir yang baik, berkata  yang baik, berbuat yang baik. Dalam sloka IV-18 dinyatakan bahwa pakaian kita, pikiran dan kata-kata kita hendaknya menyesuaikan diri dengan kewangsaan, kedudukan maupun kemampuan kita.
Sloka IV-18 :
            Wasayah karmano ‘rthasya
            Śrutasyābhijanasya ca
            Weśawāag buddhi sārupyam
            Ācaran wicaredhiha


Artinya :
            Berjalan didunia ini hendaknya menyesuaikan
            Pakaian, kata-kata serta pikirannyaagar sesuai
            Sesuai dengan kedudukan dan kekayaannya
            Sesuai pelajaran suci dan kewangsaannya

            Kemudian dalam sloka XII-3 sampai XII-11 kitab Manawa Dharmasastra mengajarkan tentang karma yang lahir dari pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dan semua pahalanya.Berikut adalah petikan dari beberapa sloka-sloka  tersebut :
Sloka XII-3 :
            Śubhāśubha phalam karma
            Manowāgdeha sambhawan
            Karmajā gatayo nrnāam
            Ūttamā dhyamāh


Artinya :
            Karma yang lahir dari pikiran, perkataan dan perbuatan menimbulkan akibat baik atau buruk dengan karma yang telah menyebabkan timbulnya berbagai keadaan pada diri manusia.
 Sloka XII-4
            Tasyeha triwidhasyāpi
            Tryadhisthānasya dehinah
            Daśa laksana yuktasya manah
            Widyāt prawartakam


Artinya :
            Ketahuilah bahwa pikiran adalah perangsang dari semua hal dibawah ini dan bahkan sampai kepada semua perbuatan yang ada hubungannya dengan badan dan terdiri atas tiga jenis dan terbagi atas sepuluh kelompok.
Sloka XII-5
            Parādrawyeswabhidhyānam
            Manasānista cintanam
            Witathā bhiniweśaśca
            Triwidam karma mānasam
Artinya :
            Bernafsu akan milik orang lain, berpikiran pada diri seseorang mengenai apa yang tidak diinginkan dan mengikuti ajaran yang salah, merupakan tiga dosa dari pikiran.


2.2 SUMBER ETIKA AGAMA HINDU
            Mānawa Dharmaśāstra sebagai pedoman
Dharmasastra atau Etika Agama Hindu yang mengatur masyarakat untuk mengikuti ajaran Dharma berpedoman kepada Kitab Mānawa Dharmaśāstra II.6 yang berbunyi sebagai berikut :

Idhānim dharma pramānamyāha
Wedo ‘khilo dharmamūlam
Smrtiśīle ca tadvidām
Ācāraścaiva sādhunām
Ātmanastustireva ca

Artinya :
Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, tingkahlaku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara peri kehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri pribadi.

Perlu ditegaskan bahwa ayat diatas memuat gagasan tentang sumber hukum Agama Hindu yang diatur secara kronologis : Weda-Smrti-Acara-Atmanastusti, artinya Sruti, Smrti, Acara, Sila dan Atmanastusti, yang semuanya merupakan sumber hukum Dharma. Dari semua sumber itu sumber utama adalah Weda (Wedo Khilo). Jadi untuk mendapatkan kebenaran hukum, untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laku seseorang dan untuk menentukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan, sumber pertama adalah Weda itu sendiri (Sruti). Tetapi bila dalam Weda itu tidak ada, maka dapat dicari dalam Smrti. Bisa juga terdapat dalam kedua sumber itu. Bila dari kedua sumber itu tidak ada, maka baru dilihat pada Acara (kebiasaan-kebiasaan yang telah lama berlaku). Bagian terakhir adalah sila yaitu tingkah laku seseorang yang baik dan bila tingkah laku itu memberikan kepuasan kepada diri sendiri atau Atma tusti (Pudja cs., 1973 : 64)
            Dengan demikian, maka Dharmasastra, susila atau Etika Agama Hindu mempunyai empat sumber hukum (Nala cs., 1991 : 119) yaitu :
1.      Kitab suci Weda (Wedo khilo)
Kitab suci Weda merupakan sumber hukum paling utama bagi Etika Hindu. Yang dimagsud dengan Kitab Suci Weda dalam hal ini adalah Weda Sruti dan Weda Smrti, tetapi yang paling benar dan merupakan sumber hukum pokok yang utama adalah Weda Sruti. Sebagai patokan untuk menentukan etika kehidupan manusia, maka semua Weda Sruti baik Mantra, Brahmana, maupun Upanisad dapat dipergunakan. Sementara itu Weda Smrti dapat juga dijadikan landasan atau pedoman Etika Hindu, misalnya dalam hal tata susila perkawinan, etika terhadap wanita, etika dalam menerima hadiah dan lain-lain.

2.      Acara atau Sadacara
Acara atau Sadacara adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan telah menjadi panutan masyarakat yang bersifat local atau setempat. Kebiasaan yang telah diterima dan diikuti secara turun temurun dan dihormatioleh orang-orang ditempat itu harus diikuti dan dijadikan pedoman. Hal ini berarti bahwa orang tidak boleh merubah kebiasaan itu semena-mena tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh ajaran Agama. Tidak pula berarti bahwa kebiasaan itu harus diterima secara kaku, sebab perubahan waktu dan zaman memungkinkan pula adat kebiasaan itu berubah.

3.      Sila atau Sistacara
Sila adalah ajaran etika atau kesusilaan yang patut menjadi panutan dan ditiru oleh setiap umat Hindu. Dalam Sila dikemukakan apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk diketahui dan dijadikan pedoman hidup. Pedoman itu meliputi baik hidup bermasyarakat, hidup bernegara maupun hidup berkeluarga (Pudja, 1984 : 100). Sementara itu Sitacara adalah tingkah laku dan tata cara kehidupan orang-orang suci yang dapat dijadikan pedoman untuk pelaksanaan Etika Hindu.

4.      Atmanastusti atau Priyatmana
Atma tusti atau Atmanastusti atau Priyatmana adalah etika yang didasarkan kepada pertimbangan yang sangat pribadi, berdasarkan pertimbangan hati kecil atau hati nurani orang yang bersangkutan, sepanjang tidak menyakiti hati orang lain. Pertimbangannya tentu dibatasi oleh norma-norma yang terdapat dalam kitab suci.










2.3 PENERAPAN AJARAN TRI KAYA PARISUDHA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

A. PENYUCIAN           PIKIRAN(MANACIKA).
Inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung padacara kita memandang serta  cara kita          menyikapinya.

Bila pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya         dengan                        objektif.

Pandangan kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa".

Untuk menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan akhir.

Tiga macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan didalam     Saracamuscaya,adalah:

1.Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal.
2. Tidak berpikiran          negative           terhadap          makhluk lain.
3. Tidak mengingkari HUKUM  KARMAPHALA.

Demikianlah disebutkan didalam salah satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal, dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan suci.


B.  B.PENYUCIAN        PERKATAAN(WACIKA).

Terdapat empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:

1.  Tidak   suka     mencaci           maki.
2.  Tidak   berkata-kata    kasar    pada    siapapun.
3. Tidak   menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain.
4.  Tidak   ingkar janji atau berkata          bohong.

Demikianlah disebutkan dalam Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.



C. PENYUCIAN      PERBUATAN          FISIK dan PRILAKU          (KAYIKA).
Terdapat tiga   hal utama yang            harus    dikendalikan,yaitu:

1. Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh                  makhluk          lain.
2. Tidak berbuat curang,         sehingga berakibat merugikan siapa    saja.
3. Tidak berjinah atau yang serupa     itu.

Demikianlah sepuluh hal penting dalam pelaksanaan Tri Kaya Parisudha sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam kitab Saracamuscaya. Pengamalan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan untuk membentuk karma serta hubungan yang baik antar sesama umat.


BAB III
 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Adapun teori-teori tentang etika etika tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Teori Hedonisme
Kata hedonisme berasal dari bahasa yunani (hedone artinya nikmat, kegembiraan), yang ditemukan oleh muridnya sokrates,yaitu Aristippos dari kyrene (433- 355 SM). Teori ini berpandangan bahwa, tercapainya kebahagian yang merupakan tujuan kehidupan manusia.
2.      Teori Eudemonisme
Pandangan ini berasal dari Yunani besar yaitu Aristoteles (384 – 322 SM). Menurut dia, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi : makna terakhir hidup manusia itu belum memecahkan masalah kesulitan karena dengan kebahagian mareka mengerti banyak hal yang berbeda – beda .
3.      Teori Utilitarisme
Teori ini barasal dari pemikiran moral di United Kingdom dan berpengaruh keseluruh kawasan inggris. Filsuf Skonlandia, Dawid hume (1711 - 1776) memberikan sumbangan bahwa, utilitarisme adalah sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum inggris khususnya hukum pidana. Maksudnya ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud yang sangat kongkret. Karena tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga  negara dan bukan memaksakan perintah- perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak – hak kodrati. Karena itu beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanyadalam sistem hukum inggris sudah ketinggalan jaman dan harus diganti.
4.      Teori Ontologi
Berasal dari kata Deon artinya : apa yang harus dilakukan ( kewajiban)
Deontologi menurut Immanuel Kant(1724-1804) adalah yang disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksuk atau  motif lain, perbuatan tidak bisa disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu.

IMPLEMENTASI TEORI ETIKA DENGAN TRI KAYA PARISUDHA

Dilihat dari keempat teori etika tersebut yang dapat di implementasikan dengan Tri Kaya Parisudha adalah teori Hedonisme dan teori Ontologi. Dimana kedua teori tersebut berkaitan dengan Tri Kaya Parisudha,misalnya teori hedonisme dimana menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan yang bersifat badaniah saja dan tidak memikirkan kebahagiaan bathiniah. Bila dikaitkan dengan Tri Kaya Parisudha di dalam hidup ini diharapkan umat manusia berbuat,berpikir, berkata sesuai dengan ajaran agama hindu, dimana disebutkan dalam ajaran Tri Kaya parisudha. Untuk mencapai kebahagiaan haruslah kita berbuat, berpkir, berkata yang baik dan benar. Tujuan hidup manusia adalah mencapai moksa atau kebahagiaan lahir dan bathin. Yang disebutkan dengan sloka Moksatham jagadhita ya ca iti dharma. Untuk mencapai moksa kita harus berbuat sesuai dengan dharma dimana ada empat tujuan hidup manusia yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Untuk mencapai moksa terlebib dahulu kita harus berbuat darma. Yang mana disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya,12:
Yan paramarthanya, yan arthakama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning arthakama mene tan paramartha wi katemwaning arthakama deninganasar dharma
Artinya;
Pada hakekatnya, jika artha dam kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu:tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Sarasamuscaya 14:
Ikang dharma ngaranya, henuning mara ring swarga ika kadi gatining parahu, an henuning banyaga nentasing tasik
Artinya:
Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke surga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi lautan.

Sedangkan bila dikaitka dengan teori Ontologi, jika kita berbuat,berkata,berpikir hendaknya dapat dipertanggung jawabkan. Karena kita sebagai manusia yang percaya dengan adanya Tuhan dan






                                                                     















BAB IV
PENUTUP

4.1  KESIMPULAN
Tri Kaya Parisudha diartikan pula sebagai tiga dasar prilaku yang harus disucikan yaitu manacika(pikiran), wacika (perkataan) dan kayika (perbuatan). Dengan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang baik, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik.  Jadi pikiran itu sebagai motor penggerak suatu perbuatan. Setiap perbuatan menyebabkan adanya ‘phala’.  Hasil yang diterima tergantung dari perbuatan yang diperbuat. Jika berbuat baik akan menghasilkan phala yang baik pula dan begitu juga sebaliknya. Ajaran Tri Kaya Parisudha juga termuat di dalam beberapa kitab suci Agama Hindu seperti Bhagawadgita, Sarasamuscaya, Manawa Dharmasastra. Jika dihubungkan dengan teori-teori etika, ajaran Tri Kaya Parisudha masuk dalam teori Hedonisme dan Ontologi.











DAFTAR PUSTAKA